Pandangan Aidin, M.Si terhadap Rendahnya Harga Beli Jagung oleh Perusahaan di Kabupaten Bima
Aidin, M.Si., seorang dosen STKIP Al Amin Dompu yang juga dikenal sebagai pengamat sosial dan ekonomi pertanian di wilayah NTB, menyuarakan keprihatinannya terhadap persoalan yang tengah dihadapi para petani jagung di Kabupaten Bima. Menurutnya, rendahnya harga beli jagung oleh perusahaan-perusahaan besar (PT) yang beroperasi di wilayah tersebut telah menimbulkan keresahan dan kerugian besar di kalangan petani, khususnya menjelang dan saat masa panen raya.
“Petani kita bekerja keras berbulan-bulan, mengeluarkan biaya produksi yang tidak sedikit—untuk bibit, pupuk, tenaga kerja, hingga sewa lahan. Tapi saat panen tiba, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit: harga jagung dibeli sangat murah, bahkan tak sebanding dengan ongkos produksi,” ungkap Aidin. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk ketimpangan struktural dalam relasi ekonomi antara petani dan korporasi.
Aidin menyoroti bahwa praktik ini berlangsung dari tahun ke tahun, namun tak kunjung mendapat penanganan yang berpihak kepada petani. “Perusahaan-perusahaan membeli jagung dengan harga rendah karena mereka punya kuasa pasar. Sementara petani, tidak punya pilihan, karena jagung mereka tidak bisa disimpan lama dan harus segera dijual,” jelasnya. Kondisi ini, menurut Aidin, membuat petani berada dalam posisi yang selalu lemah dan rentan.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa rendahnya harga beli jagung bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga berdampak sosial. Banyak petani yang akhirnya terjerat utang, kehilangan semangat bertani, hingga terpaksa menjual aset untuk bertahan hidup. “Ini bukan hanya menggerus kesejahteraan petani, tapi juga mengancam keberlanjutan pertanian lokal kita,” tegasnya.
Sebagai dosen yang aktif dalam kegiatan pengabdian masyarakat, Aidin menyatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi seperti STKIP Al Amin Dompu memiliki tanggung jawab moral untuk terlibat dalam isu-isu seperti ini. Ia mendorong adanya sinergi antara akademisi, pemerintah daerah, dan lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong kebijakan harga minimum pembelian hasil pertanian oleh perusahaan.
“Kita butuh regulasi yang melindungi petani dari praktik eksploitasi harga. Pemerintah daerah seharusnya hadir memberikan solusi konkret, misalnya melalui pembentukan koperasi petani yang kuat, fasilitas penyimpanan jagung yang memadai, atau bahkan pengawasan langsung terhadap PT yang membeli dengan harga tidak wajar,” ujar Aidin.
Aidin juga menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif bahwa sektor pertanian adalah tulang punggung ekonomi daerah. Oleh karena itu, menurutnya, kesejahteraan petani harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan. “Selama ini kita bicara ketahanan pangan, tapi ironisnya, para produsen pangan justru hidup dalam ketidakpastian,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Aidin menyerukan agar semua pihak—terutama pemerintah daerah, legislatif, dan pelaku usaha—tidak lagi bersikap pasif. “Sudah saatnya suara petani kita didengar dan dihargai. Mereka bukan objek belas kasihan, tapi subjek pembangunan yang harus dilindungi hak-haknya, termasuk hak atas harga yang adil.”


Komentar
Posting Komentar